Rangkuman Catatan Filsafat Islam Pertemuan Ke-12

Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Thufail Al-Qisy atau lebih dikenal sebagai Ibnu Thufail atau di kalangan orang Barat, Ibnu Thufail dikenal dengan panggilan Abubacer. Beliau lahir di Guandix dekat dengan Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M pada masa pemerintahan Abu Yusuf Al-Mansur dari Dinasti Muwahhidun. Ibnu Thufail menempuh pendidikan ilmu kedokteran dan filsafat di Seville dan Kordoba. Ketika dewasa, ia juga berguru kepada seorang ilmuwan besar yang menguasai berbagai keahlian yakni Ibnu Bajjah. Dengan menjadi murid dan bimbingan dari Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail berkembang menjadi seorang ilmuwan besar juga, selain itu ia juga menjadi seorang penulis, filsuf, novelis, dokter, dan ahli agama. Beliau berhasil menguasai ilmu pendidikan, ilmu hukum, dan juga terkenal sebagai filsuf muslim sekaligus politikus ulung paling penting setelah Ibnu Bajjah di dunia Barat.

Karirnya diawali dengan menjadi seorang ahli dalam bidang kedokteran, yang kemudian menjadi seorang dokter ternama. Hal itu membuatnya dikenal oleh banyak orang, sehingga ia pernah diangkat menjadi sekretaris oleh Gubernur Granada pada saat itu. Ketenaran Ibnu Thufail ini sampai ke Khalifah Abu Ya’kub Yusuf Al-Mansur dari Dinasti Muwahhidun yang kemudian mengangkat Ibnu Thufail menjadi dokter pribadi khalifah dari tahun 558 H sampai 580 H. Khalifah Abu Ya’kub dikenal sebagai seorang yang mencintai ilmu pengetahuan dan senang merangkul para ulama dan filsuf, Ibnu Thufail pun pernah menjabat menjadi menteri yang bertugas mencari sekaligus mendatangkan orang-orang terpelajar dan berilmu datang ke istana. Salah satunya ia pernah diminta untuk mengundang Ibnu Rusyd untuk membuat komentar dari kitab-kitab karya Aristoteles. Diriwayatkan dalam catatan Nasr dalam Leaman, mulai dari sinilah Ibnu Thufail menjadi guru langsung untuk Ibnu Rusyd. Kemudian pada sekitar tahun 578 H/1182 M, Ibnu Thufail mengundurkan diri sebagai dokter pribadi khalifah dikarenakan telah uzur. Lalu beliau meminta
langsung kepada Ibnu Rusyd untuk menggantikan kedudukan beliau. Beberapa tahun kemudian, Ibnu Thufail wafat dan di makamkan di Marakesh (Maroko). Kendati telah wafat, Ibnu Thufail tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Ya’qub.

Karya-karya Ibnu Thufail
Disebutkan dari beberapa sumber bahwa Ibnu Thufail melahirkan banyak karya, namun hanya beberapa saja yang diketahui, Diantaranya yaitu Arjuzah fi at-Thib, Asrar Al-Hikmah Al-Masyriqiyyah (Rahasia-rahasia ketimuran) dan salah satu karya
beliau yang sangat populer yaitu buku Hayy bin Yaqzhan, buku ini merupakn buku roman filsafat tentang seorang manusia yang membangun akalnya sendirian. Dalam karya tersebut menunjukkan bahwa Ibnu Thufail memiliki pemikiran yang sama dengan Ibnu Bajjah, bahwa seharusnya manusia yang telah mencapai hakikat hidup tertinggi akan menjadi penyediri (mutawahhid) yang tidak terpengaruh oleh pemikiran orang lain yang masih terbelenggu oleh nalurinya. Terdapat ringkasan dari buku Hayy bin Yaqzhan yang diringkas oleh Nadhim al-Jisr dalam karyanya yang berjudul Qissat al-Iman, yang dimana ringkasan tersebut yakni:
1. Urut-uruatn tangga ma’rifat (pengetahuan) yang ditempuh oleh akal, dimulai dari objek-objek inderawi yang khusus sampai kepada pikiran-pikiran universal.
2. Tanpa pengajaran dan petunjuk, akal manusia bisa mengetahui wujud Tuhan, yaitu dengan melalui tanda-tandanya pada Makhluk-Nya, dan menegakkan dalil-dalil atas wujud-Nya itu.
3. Akal manusia ini kadang-kadang mengalami ketumpulan dan ketidakmampuan dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu ketika hendak menggambarkan keazalian mutlak, ketidakakhiran, zaman, qadim, huduts (baru), dan hal-hal lain yang sejenis dengan itu.
4. Baik akal menguatkan qadim-nya alam atau kebaharuannya namun, kelanjutan dari kepercayaan tersebut adalah satu, yaitu adanya Tuhan.
5. Manusia dengan akalnya mampu mengetahui dasar-dasar akhlak yang bersifat amali dan kemasyarakatan.
6. Apa yang diperintahkan oleh syariat islam dan apa yang diketahui oleh akal yang sehat dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan dan keindahan dapat bertemu keduanya dalam satu titik tanpa diperselisihkan lagi.
7. Pokok dari semua hikmah ialah apa yang telah ditetapkan oleh syara’, yaitu mengarahkan pembicaraan kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya, tanpa membuka kebenaran dan rahasia-rahasia filsafat kepada mereka. Selain itu, Ibnu Thufail juga memberikan kontribusi besar dalam bidang kedokteran. Beliau mencatat segala ulasan dan diskusi terutama tentang medis dengan
muridnya Ibnu Rusyd dalam bukunya yang berjudul Muraja’at wa Mabahits (Tinjauan dan Diskusi).

Pemikiran-pemikiran Filsafat Ibnu Thufail
A. Metafisika (Kertuhanan)
Ibnu Thufail memulai filsafatnya dengan filsafat ketuhanan. Dalam membuktikan adanya Tuhan, ia memiliki tiga argumen, yaitu:
1. Argumen Gerak, yaitu gerak alam menjadi bukti adanya Tuhan. Bagi orang yang meyakini bahwa gerak alam itu adalah baharu, berarti dari ketiadaan hingga alam itu ada yang dimana dari ketiadaan itu dibutuhkan sang pencipta yaitu Tuhan.
2. Argumen Materi, hal ini dikemukakan oleh Ibnu Thufail dalam kelompok fikiran yang terkait satu sama lain, yakni segala yang ada tersusun dari materi dan juga bentuk. Setiap materi membutuhkan bentuk, dan bentuk tidak akan bereksistensi tanpa adanya sang pencipta. Bagi yang meyakini bahwa alam itu Qadim, pencipta berfungsi mengeksistensikan wujud dari suatu bentuk ke bentuk yang lain. Sementara bagi yang meyakini bahwa alam itu baharu, pencipta berfungsi menciptakan dari ketiadaan menjadi ada.
3. Argumen Alghaiyyat dan Al-Inayat al ilahiya. Menurut Ibnu Thufail, bahwa segala yang ada di alam ini memiliki tujuan tertentu yang merupakan inayah dari Allah SWT. Ibnu Thufail berpegang teguh dengan argumen ini, karena sesuai dengan Al-Qur’an dan menolak bahwa alam diciptakan secara kebetulan.
B. Alam
Ibnu Thufail mempercayai bahwa alam itu baru, sekaligus qadim. Menurutnya alam diciptakan sejak azali, tanpa didahalui zaman. Alam tersebut baru karena ia membutuhkan dan bergantung kepada dzat pencipta yaitu Allah SWT.
C. Jiwa
Menurut Ibnu Thufail, Jiwa adalah mkhluk yang tertinggi martabatnya. Sebab manusia terdiri dari dua unsur, yakni jasad dan ruh (al-madat al ruh)
D. Epistimologi
Ibnu Thufail menyiratkan dalam kisah Hayy bin Yaqzhan, bahwa ma’rifat dimulai dari panca indera. Alam bersifat metafisis yang dapat diketahui dengan akal dan intuisi, dan ma’rifat dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pertama dengan pemikiran (renungan) seperti yang dilakukan oleh para filosof muslim, dan yang kedua dengan cara tasawuf seperti yang dilakukan oleh kaum sufi.

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai