Abu Hamid Muhammad Ibnu Al-Ghazali atau lebih dikenal sebagai Al-Ghazali lahir di Thusi (Iran) pada tahun 450 H (1058 M) dan wafat di tempat yang sama pada tahun 505 H (1111 M) pada usia 55 tahun. Memilki ayah yang merupakan seorang wira’i dan menekuni sufi, serta juga merupakan ahli tasawuf. Ketika ayahnya wafat, Al-Ghazali kemudian diasuh oleh sahabat dekat ayahnya yang juga merupakan ahli sufi. Kemudian dari orang tua asuhnya itulah Al-Ghazali belajar berbagai keilmuan, kemudian ia berpindah dan belajar dengan Imam Abi Nasar Al-Ismaili dan berpindah lagi belajar dengan Imam Dhiya al-Din al-Juwaini.
Al-Ghazali berpindah-pindah tempat untuk mencari suasana baru untuk mendalami pengetahuan dan mengajarkan pengetahuannya. Hampir dari setengah usianya dihabiskan untuk mendalami pengetahuan dan mengajarkannya. Ia juga mendapat anugrah sebagai guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah yang dilantik langsung oleh perdana menteri Nizam al-Muluk. Selain aktif dalam mengaja, ia juga sangat produktif dalam menuliskan pemikirannya menjadi kitab-kitab yang berisi ilmu kalam, tafsir Al-Qur’an, ushul fiqih, tasawuf, mantiq, fiqih, filsafat, dan lainnya. Sehingga banyak tokoh dunia terpukau oleh Al-Ghazali melalui karya-karyanya dan ajaran sufistiknya.
Beberapa karya Al-Ghazali yang monumental yaitu diantaranya:
- Ihyal Ulum al-Din (Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Disiplin ilmu diantaranya, fiqih, tasawuf, dan filsafat).
- Maqashid al-Falasifat (Tujuan-tujuan para filosof) berisi tiga pokok bahasan persoalan filsafat yunani yakni logika, matematika, dan fisika.
- Tahafut al-falasifah (Kerancuan pemikiran para filosof)
- Al-Munqidz min al-Dhalal (Sang penyelamat dari kesesatan) karya ini merupakan autobiografi yang memuat perkembangan intelektual dan spiritual pribadinya.
- Karya lain dalam bidang filsafat, logika, dan ilmu kalam antara lain: Mi’yar al-Ilmi (Standar Ilmu), al-Iqtashad fi-I’tiqad (moderasi dalam berkeyakinan), Mahku a-nadhar fi a;-manthiq ( uji pemikiran dalam ilmu manthiq).
Al-Ghazali memberikan klasifikasi filosof sekaligus memberikan penilaian kepada mereka. Pertama, yaitu pengikut ateisme (al-Dahriyyun). Kelompok ini merupakan golongan filosof yang mengingkari Tuhan yang mengatur alam dan menentang keberadan-Nya. Mereka mempunyai pemikiran bahwa alam telah ada dengan sendirinya tanpa campur tangan Tuhan. Menurut al-Ghazali, mereka merupakan orang-orang yang tidak mengenal Tuhan.
Kedua, pengikut paham naturalisme, yaitu mereka yang merupakan golongan filosof yang setelah sekian lama meneliti keajaiban hewan dan tumbuh-tumbuhan dan menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Tuhan, akhirnya mereka mengakui keberadaan Tuah. Mereka berkeyakinan bahwa orang yang telah tiada ruhnya tidak akan bisa kembali. Selain itu mereka juga menentang adanya akhirat, surga, neraka, hari kiamat dan hisab.
Ketiga, yaitu penganut filsafat ketuhanan. Mereka adalah golongan filosof yang percaya kepada Tuhan. Kelomok ini pada garis besarnya membantah dua kelompok pertama. Al-Ghazali lebih lanjut menyatakan bahwa Aristoteles pada fase berikutnya menolak dan menyanggah dengan tegas pandangan Plato dan Socrates beserta pendahulunya yang mengikuti filsafat ketuhanan sehingga ia keluar dari ruang lingkup mereka.
Dalam Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali memandang para filosof telah melakukan kerancuan, setidaknya ada 20 masalah yang menyebabkan para filosof ini menjadi ahli ahl al-bid’at dan kafir. Dari 20 persoalan ini, al-Ghazali menegaskan bahwa para filosof menjadi kafir karena tiga masalah, yaitu:
- Para filosof berpendapat bahwa alam itu qadim (tidak mempunyai permulaan), sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada sebab akbiat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Menurut al-Ghazali yang qadim (tidak mempunyai permulaan) hanyalah Tuhan semata. Maka, selain Tuhan haruslah baru (hadits).
- Pendapat para filosof yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mungkin mengetahui hal-hal yang bersifat partikular. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya sendiri (juz’iyat) dengan alasan alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan pada zat-Nya.
- Penolakan filosof terhadap kebangkitan jasmani dan moralitas jiwa individu. Para filosof muslim sebelum al-Gahazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan dari alam kubur menuju akhirat nanti adalah rohani semata, sedangkan jasmani akan hancur lebur.
Filsafat Al-Ghazali mencangkup tentang Metafisika, dimana al-Ghazali sebagaimana pengikut Al-Asy’ariyah menselaraskan akal dengan naql. Ia berpendapat bahwa akal harus dipergunakan sebagai penopang. Namun, al-Ghazali menghentikan akal pada batas-batas tertentu, dan hanya naql lah yang bisa melewati batas-batas tersebut.
Kemudian wujud dan sifat Allah, Al-Ghazali menjelaskan bahwa Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Allah menciptakan alam dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, karena Allah adalah sebab bagi segala yang ada. Sedangkan tentang wujud Alah, AL-Ghazali tidak jauh berbeda dengan pendapat para filosof paripetik lainnya bahwa Tuhan merupakan prima kausa (penyebab pertama). Allah adalah Esa tak terbilang sama sekali menyamai makhluk-makhluk-Nya, kekal dan tak akan fana.
lalu yang terakhir yaitu hukum sebab akibat. Al-Ghazali mengungkapkan bahwa alam dunia itu berasal dari iradah (kehendak) Allah semata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya, sebagaimana yang diyakini oleh filosof islam sebelumnya. Menurut al-Ghazali, hubungan antara sebab dan akibat tidak bersifat dharuri (kepastian), dalam pengertian keduanya tidak merupakan hubungan yang mesti berlaku, tetapi keduanya masing-masing memiliki individualitasnya sendiri. Sebagai contoh, antara makan dan kenyang tidak terdapat hubungan yang bersifat keniscayaan. Artinya, orang makan tidak niscaya merasa kenyang Karena makan tidak mesti menyebabkan orang kenyang, begitu pula kertas tidak mesti terbakar meski terkena api.