Abu Nashr Muhammad Ibnu Tarkhan Ibnu Auzalagh atau Al-Farabi, lahir pada tahun 258 H/870 M di Wasij, Distrik Farab, Turkistan. Ayahnya adalah seorang jenderal yang berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Dalam dunia intelektual Islam Al-Farabi mendapat kehormatan yaitu julukan al-Mu’alim Al-Sany (Guru Kedua). Julukan tersebut didapatkan karena jasanya sebagai penafsir yang baik dari logika Aristoteles.
Ketika Al-Farabi berusia 40 tahun, beliau pergi ke Baghdad untuk mempelajari kaidah-kaidah bahasa Arab dan belajar logika serta filsafat. Beliau juga beguru kepada Yuhanna Ibnu Jailan di Harran. Tidak lama kemudian, beliau kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Al-Farabi juga membahas tujuh pembahasan di dalam karya filsafatnya. Berikut adalah penjelasan dari filsafat Al-Farabi:
1. Rekonsiliasi Al-Farabi
Al-farabi dikenal sebagai filsof sinkretisme, yaitu filsof yang mempercayai kesatuan filsafat. Hal tersebut terlihat ketika beliau merekonsilisasikan beberapa ajaran filsafat sebelumnya, beberapa ajaran filsafat yang berhasil di rekonsiliasikan yaitu terkait :
- Plato dan Aristoteles
Al-Farabi menggabungkan kedua ajaran ini yaitu dengan cara memajukan pemikiran masing-masing filosof yang cocok dengan pemikirannya.
- Agama dan Filsafat
Al-Farabi memiliki pendapat bahwa agama dengan filsafat sebenarnya sama, perbedaannya pada cara memperolehnya. Jika filosof perantaranya adalah akal mustafad, sedangakan agama perantaranya adalah wahyu yang disampaikan oleh nabi-nabi.
2. Ketuhanan
Pada filsafat Ketuhanan Al-Farabi memadukan filsafat Aristoteles dengan Neo-Platonisme, yaitu Al-Maujud Al-Awwal (wujud pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Aristoteles mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui dan tidak memikirkan alam sehingga Al-Farabi terpengaruh oleh pemikirannya. Al-Farabi mengembangkan pemikiran tersebut dengan mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat (partikular).
3. Emanasi
Emanasi adalah proses pembentukan alam semesta. Al-Farabi berpendapat Allah bukan hanya dinegasikan dalam artian aniah dan mahiah, tetapi lebih dari itu. Allah itu esa hanya timbul satu yaitu akal pertama yang menganduk banyak arti, bukan jumlah melainkan sebab dari pluralitas. Sehingga Allah tidak mungkin berhubungan dengan ketidaksempurnaan.
4. Kenabian
Menurut Al-Farabi, Nabi mempunyai daya imajinasi yang kuat dalam kemampuannya untuk berhubungan dengan Akal Fa’al (Jibril) ia dapat menerima visi dan kebenaran dalam bentuk wahyu.
5. Negara Utama
Maksud dari filosof Al-Farabi ini yaitu pemberdayaan manusia dalam satu negara sesuai degan kemampunnya, dan warga negara harus rela berkorban untuk kepentingan bersama. Negara Utama sebagai satu masyarakat sempurna dalam arti yang sudah lengkap bagian-bagiannya, diibaratkan oleh Al-Farabi sebagai organisme tubuh manusia dengan anggota yang lengkap dan masing-masing harus bekerja sesuai dengan fungsinya.
6. Jiwa
Menurut Al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagi berikut :
- Daya Al-Muharrikat (gerak), daya ini untuk makan, memelihara dan berkembang.
- Daya Al-Mudrikat (mengetahui), daya ini agar bisa merasa dan berimajinasi.
- Daya Al-Nathiqat (berpikir), daya ini untuk agar dapat berpikir secara teoritis dan praktis.
Daya teoritis (berpikir) dibagi menjadi:
- Akal potensial (Al-Hayulany), adalah akal yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti.
- Akal aktual (Al-Aql bi Al-Fi’il), adalah akal-akal yang dapat melepaskan arti-arti dari materinya.
- Akal Mustafad (Al-Aql Al-Mustafad), adalah yang telah dapat menangkap bentuk.
7. Akal
Menurut Al-Farabi akal dibagi menjadi 3 yaitu :
- Allah sebagai akal.
- Akal-akal pada filsafat emanasi.
- Akal sebagai daya berpikir dalam jiwa manusia.